Sebuah sore di jalan protokol menuju rumah Hasan. Kedua ayah anak itu terdiam dalam keheningan dan ribetnya macet. Umar memulai pembicaraan yang tadi sempat terpotong.
"Bi.. plis.. sepatu bola itu bi, cuman 215 ribu kok Bi, Rupiah lagi.."
"No! KALO ABI BILANG TIDAK YA TIDAK UMAR. Gak denger kamu?ato pura2 gak denger. Ingat, Allah kasih kita telinga bukan untuk mendengar saja, untuk memahami juga. Bukannya Abi mau pelit Umar, Abi cuman melihat sepatu bola itu useless!"
"Bi.. Umar mau lihat Tarjo main minggu ini.. Ini kesempatan dia main di stadion kabupaten Bi, Kesempatan karir dia di bidang sepak bola.."
"Tau apa pula kamu tentang karir. Sepak bola lagi? Bahkan kamu tak pernah main sepak bola. Kamu hanya mimpi, lagian pelatih gak nerima anak kurus dengan kacamata minus tebel kayak kamu Umar.. hehehe.." Hasan keceplosan, menertawakan anaknya yang makin lama tampangnya makin kayak harry potter.
"Abi, Umar ciptaanNya, Abi bilang gitu, Dia Maha Mendengar Bi!" Umar manyun monyong bibirnya.
"Iyalah.. astaghfirullah.. anak Abi janan marah, ok."
"So, sepatunya Bi.. jadi yah.."
"Enggak!"
"Bi.. pliss.. "
"nO way!"
"Bi......"
"Umar, jangan biarkan abi habis kesabaran ya! Mana ajaran zuhudnya? mana? kamu sekarang sudah beruntung masuk pesantren modern yang serba mudah Umar. Bersyukurlah sedikit. Sepatu Umar baru beli dua bulan yang lalu, sekarang minta sepatu bola. Nonsense! Padahal kamu sendiri gak main bola, cuman mau nonton Tarjo".
"Tapi Bi.. sepatu itu untuk.."
"Stop! that's it Umar. Abi penat"
Hasan berjalan meninggalkan Umar menuju dalam rumah. MAlam itu, Umar benar-benar tak mampu memejamkan mata. Bingung dengan keinginannya mendapatkan sepatu bola. Demi Tarjo, yang hari minggu nanti akan berlaga. Pelan dia terjongkok di depan ranjang, melongok ke kolong dan melihat babi pinkynya. Diambilnya tabungan berbentuk babi itu.
"Hhh.. babi jelek, kalo abi gak kasi duit juga, kamu aku sembelih!"
Umar mencoba untuk terakhir kalinya, lobi dengan abinya yang memang berpendirian keras. Pelan dia menuju kamar kerja Hasan dan duduk di lantai, dekat dengan lutut Hasan. Hasan yang masih sibuk dengan reportnya..getting more irritated!
"Bi.. skali aja Bi. Umar gaka da duit Bi, sama sapa lagi Umar mesti minta Bi.. Plis bi.. Umar akan manfaatkannya sebaik mungkin" Umar mencoba lagi dengan nada tersedih yang dia pernah lakukan.
"Ok, beli sana! Beli! Tapi dengan uangmu sendiri! Abi gak peduli. Ambil tabungan babi kamu kek, apa kek. Pokoknya abi gak mau tahu! Kamu gak perlu itu sepatu, jangan jd tukang pamer Umar. Abi gak suka! Ummi pasti kecewa denganmu!" Hasan ceramah panjang. Umar hanya tertunduk diam..
" Bi.. plis Bi.."
Brakk! Pintu kamar Hasan dibanting dari dalam. Hasan marah. Penat dan stress kerja ditambah dengan rengekan anaknya yang dianggapnya nonsense itu membuat emosinya meluap. Umar berjalan pelan menuju babi pinkynya di kamar..
"Ok, lil ugly pig! Aku perlu isi perutmu sekarang!"
Brakk! Dan dalam hitungan menit Umar sedang menghitung jumlah uang yang belom lama dia kumpulkan untuk naik haji.
" Seratus sembilan puluh..hm.. dua ratus..kok pas yah.. kurang 15 ribu! tak apalah.. aku beli itu sepatu. Tarjo, tunggu kedatanganku!"
Minggu pagi.
"Bi cepetan Bi... Tarjo dah tunggu.."
Umar menyemangati Hasan yang dengan malas mengemudi pagi itu. Harusnya dia bisa nyantai di depan komputer dan minum kopi. PAgi ini, dia musti ke stadion, parahnya lagi, nonton anak2 kecil main bola!
"Jo, TARJO!!!!" Umar memekik keras ketika mereka sampai di pinggir stadion.Yang dipanggil seperti telah menunggu lima tahun langsung berlari ke Umar.
"Hoi.. Wes tak tunggu2 sampek ndredeg Umar!"
mereka tertawa2.. sejurus kemudian Umar melepas sepatu bola barunya, bertukar dengan sendal biru si Tarjo. Sementara HAsan hanya memperhatikan mereka dari kursi penonton.
"Gol pertama buatmu Mar! Aku janji. Suwun sepatue yah, aku akan main dengan baik!"
"OK! Cepet masuk sana!"
pertandingan di mulai. Umar menuju tempat duduk ayahnya. Hasan memperhatikan anaknya yang kini memakai sendal biru. Umar tersenyum bangga dan duduk di samping Hasan. Sejenak mata Hasan memperhatikan sendal biru itu, bukan sepatu bola baru lagi??
"Apa yang kulihat ini Allah??" Batin Hasan jadi tak karuan. Umar menukar sepatu bolanya dengan sendal biru ini. Memang warnanya masih bagus tapi.. astaghfirullah.. sendal ini yang kanan bermerk "swallow", yang kiri "melly". Sendal Tarjo. Dan dari ukurannya itu bukan milik asli tarjo, karena jauh lebih besar dari ukuran anak2.
Hasan termenung..
"Jadi ini yang berusaha dijelaskan oleh Umar beberapa hari yang lalu. Dia beli sepatu bola itu untuk Tarjo?? Kenapa aku buta hanya karena harga sepatu yang tak seberapa? Kenapa? Zuhud aku bilang? Siapa yang zuhud sekarang? ketika kepentingan anak sekecil tarjo yang tak sempat kulirik, Tarjo yang bapaknya hanya tukang las, yang setiap minggu diceritakan Umar bahwa dia adalah striker yang handal?? Allah.. aku malu.. Ternyata setulus itu anakku dalam persahabatannya.. dia korbankan tabungan hajinya. sedangkan aku, asyk dengan su'udzon yang menggerogoti hati, hingga tak kudengarkan penjelasan anakku.."
"Yak.. yak.. GOLLL....!!!! bI LIAT Bi.. TARJO..Bobol gawang!"
Hasan terkejut, Umar bangkit sambil berteriak: "AYO JO... HAJARR.."
Dan dari jauh, yang disebut TArjo mengacungkan jempolnya ke arah Umar. Umar kembali duduk.
"Umar.. maafkan abi ya. abi su'udzon sama Umar.. "
Umar tersenyum..
"Bi.. abi gak salah kok.. tapi lebih afdlolnya kalo abi habis ini sahurin utang Umar ke koh Ah Beng, soalnya duitnya kurang 15 ribu. Jadi Umar ngutang.."
"Ya.. beres.."
Ya Allah.. BAHKAN CINA TOTOK ITU PERCAYA PADA ANAKKU.. Sedangkan aq, selalu berprasangka buruk padanya.. Astaghfirullah...
Remembering: my old shoes.. dibuang belom ya ma bunda..Thanks mom 4 always trusting me..
PETERNAK KENARI CILIK
12 years ago
No comments:
Post a Comment